Kamis, 07 Juni 2012

PENGARUH ACFTA TERHADAP PEREKONOMIAN DI INDONESIA



 
BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Masalah perekonomian merupakan masalah yang tiada batasnya. Indonesia merupakan salah satu dari 3 negara Asia, disamping China dan India yang tetap tumbuh positif saat Negara lain terpuruk akibat krisis finansial global. Ini merupakan suatu prestasi danoptimisme bagi masa depan perekonomian Indonesia. Dengan kondisi ini, pemerintahmengadakan Asean-China Trade Agreement (ACFTA) guna menghadapi persaingan global. Persiapan Indonesia dalam menghadapi ACFTA merupakan salah satu bentuk kerja sama liberalisasi ekonomi yang banyak dilakuakn Indonesia dalam 10 tahun terakhir ini. Awal januari 2010 muai pemberlakuan mengenai Asean China Free Trade Agreement. Ini merupakan perang mutu, harga, kuantitasakan suatu pelayanan barang dan jasa serta industri pasar global China. Mengapa China?Seperti yang kita ketahui, harga barang produksi China relatif murah dan diminati konsumenIndonesia. Hal in itidak terlepas dari kualitas barang yang dihasilkan oleh China. Denganadanya fenomena ini, Indonesia perlu mempersiapkan tim yang diharapkan mampu memberikontribusi positif memperkuat daya saing global. Pemerintah bersama Kamar Dagang dan Industri
Perjanjian ASEAN-Cina Free Trade Area (ACFTA) menurunkan tarif pajak dari 90% untuk barang impor menjadi nol. Negara ASEAN, terutama yang sedang berkembang (Singapura dianggap sebagai negara maju), akan dibanjiri dengan laju barang dibawah ACFTA. Peningkatan akses terhadap barang murah, dalam konteks pengeluaran, akan sangat menguntungkan bagi masyarakat miskin. Todaro dan Smith (2008,[59])) membantah bahwa meningkatnya akses masyarakat miskin pada barang dan jasa merupakan salah satu bukti berhasilnya usaha pengurangan kemiskinan. Hal ini meningkatkan pemenuhan kebutuhan primer dan sekunder dari masyarakat miskin. Sehingga dari sudut pandang pengeluaran, jumlah penduduk miskin akan menurun dikarenakan meningkatnya kemampuan masyarakat miskin untuk mengakses barang dibawah perjanjian perdagangan bebas macam ini.

B. RUMUSAN MASALAH
Berangkat dari judul makalah saya yaitu pengaruh ACFTA terhadap perekonomian di Indonesia saya dapat menarik sebuah rumusan masalah, Yaitu:
1. Apakah dampak ACFTA terhadap perekonomian di Indonesia?
2. Keuntungan apakah yang diperolah dari kerja sama ini?


BAB II
PEMBAHASAN
TENTANG PENGARUH ACFTA TERHADAP PEREKONOMIAN DI INDONESIA

Pengaruh ACFTA terhadap perekonomian Indonesia Pada sector barang mainan anak-anak. Dengan adanya perdagangan acfta di Indonesia menyebabkan produksi dalam negari kalah bersaing dengan produksi luar negeri terutama hasil produksi barang cina yang saat ini membanjiri pasar local khususnya barang berupa mainan anak – anak. Perdagangan barang impor sangat merugikan bagi para pengusaha kecil dan menegah dikarenakan produksi barang local kalah bersaing dengan barang impor,karena barang impor harga pasarnya lebih murah dibandingkan hasil produksi barang dalam negeri/barang local Menurut saya barang dalam negeri secara kualitas tidak terlalu jelek dibandingkan barang impor,malah cenderung barang local secara kualitas lebih baik di bandingkan barang impor. Barang yang masuk ke Indonesia umumnya barang impor dari negeri tirai bamboo yaitu cina khususnya barang berupa mainan anak-anak,barang impor yang masuk ke Indonesia umumnya barang yang terbuat dari bahan plastic, padahal barang dari jenis pelastik ini banyak mengandung bahan kimia, jika seorang anak menggigit barang tersebut maka anak tersebut akan terkena penyekit. Dibandingkan dengan barang local secara keseluruhan akan lebih baik dikarenakan barang local bahan bakunya terbuat dari kayu, sebagai contoh mainan mobil-mobilan/truk. Barang tersebut dapat tahan lama dikarenakan bahan baku yang digunakan cukup bagus.
Penulis dapat mengemukakan dua dampak ACFTA terhadap pengaruh perekonomian di Indonesia. Dari kedua dampak tersebut adalah dampak Positif dan dampak negative. Dalam hal ini saya akan membahas dampak pertama, yaitu dampak positif:
1. Pertama:
ACFTA akan membuat peluang kita untuk menarik investasi. Hasil dariinvestasi tersebut dapat diputar lagi untuk mengekspor barang-barang ke negara yangtidak menjadi peserta ACFTA.
2. Kedua :
dengan adanya ACFTA dapat meningkatkan voume perdagangan. Hal ini dimotivasi dengan adanya persaingan ketat antara produsen. Sehingga produsen maupun para importir dapat meningkatkan volume perdagangan yang tidak terlepas dari kualitas sumber yang diproduksi.
3. Ketiga
ACFTA akan berpengaruh positif pada proyeksi laba BUMN 2010 secara agregat. Namun disamping itu faktor laba bersih, prosentase pay out ratio atas laba juga menentukan besarnya dividen atas laba BUMN. Keoptimisan tersebut, karena denganadanya ACFTA, BUMN akan dapat memanfaatkan barang modal yang lebih murahdan dapat menjual produk ke Cina dengan tarif yang lebih rendah pula (pemaparan MENKEU SriMulyani dalam Rapat Kerja ACFTA dengan Komisi VI DPR di Gedung DPR RI), Rabu (20/1).
Porsi terbesar (91 persen) penerimaan pemerintah atas laba BUMN saat ini berasal dari BUMN sektor pertambangan, jasa keuangan dan perbankan dan telekomunikasi. BUMNtersebut membutuhkan impor barang modal yang cukup signifikan dan dapat menjual sebagian produknya ke pasar Cina.
Inilah beberapa dampak positif yang penulis dapat kemukakan, berikutnya adalah dampak negatife ACFTA terhadap perekinomian di Indonesia:
1. Pertama
Serbuan produk asing terutama dari Cina dapat mengakibatkan kehancuran sektor-sektor ekonomi yang diserbu. Padahal sebelum tahun 2009 saja Indonesia telah mengalami proses deindustrialisasi (penurunan industri). Berdasarkan data Kamar Dagang dan Industri (KADIN) Indonesia, peran industri pengolahan mengalami penurunan dari 28,1% pada 2004 menjadi 27,9% pada 2008. Diproyeksikan 5 tahun kedepan penanaman modal di sektor industri pengolahan mengalami penurunan US$ 5miliar yang sebagian besar dipicu oleh penutupan sentra-sentra usaha strategis IKM(industri kecil menegah). Jumlah IKM yang terdaftar pada Kementrian Perindustriantahun 2008 mencapai 16.806 dengan skala modal Rp 1 miliar hingga Rp 5 miliar. Dari jumlah tersebut, 85% di antaranya akan mengalami kesulitan dalam menghadapi persaingan dengan produk dari Cina.
2. Kedua
Pasar dalam negeri yang diserbu produk asing dengan kualitas dan harga yangsangat bersaing akan mendorong pengusaha dalam negeri berpindah usaha dari produsen di berbagai sektor ekonomi menjadi importir atau pedagang saja. Sebagaicontoh, harga tekstil dan produk tekstik (TPT) Cina lebih murah antara 15% hingga25%. Menurut Wakil Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API), Ade SudrajatUsman, selisih 5% saja sudah membuat industri lokal kelabakan, apalagi perbedaannya besar.
Hal yang sangat memungkinkan bagi pengusahalokal untuk bertahan hidup adalah bersikap pragmatis, yakni dengan banting setir dari produsen tekstil menjadi importir tekstil Cina atau setidaknya pedagang tekstil. Sederhananya, “Buat apa memproduksi tekstil bila kalah bersaing? Lebih baik impor saja, murah dan tidak perlu repot-repot jika diproduksi sendiri.”
Gejala inilah yang mulai tampak sejak awal tahun 2010. Misal, para pedagang jamusangat senang dengan membanjirnya produk jamu Cina secara legal yang harganyamurah dan dianggap lebih manjur dibandingkan dengan jamu lokal. Akibatnya, produsen jamu lokal terancam gulung tikar.
3. Ketiga
Karakter perekomian dalam negeri akan semakin tidak mandiri dan lemah.Segalanya bergantung pada asing. Bahkan produk “tetek bengek” seperti jarum sajaharus diimpor. Jika banyak sektor ekonomi bergantung pada impor, sedangkan sektor-sektor vital ekonomi dalam negeri juga sudah dirambah dan dikuasai asing, makaapalagi yang bisa diharapkan dari kekuatan ekonomi Indonesia?
4. Keempat
Jika di dalam negeri saja kalah bersaing, bagaimana mungkin produk-produk Indonesia memiliki kemampuan hebat bersaing di pasar ASEAN dan Cina? Datamenunjukkan bahwa tren pertumbuhan ekspor non-migas Indonesia ke Cina sejak 2004hingga 2008 hanya 24,95%, sedangkan tren pertumbuhan ekspor Cina ke Indonesiamencapai 35,09%. Kalaupun ekspor Indonesia bisa digenjot, yang sangat mungkin berkembang adalah ekspor bahan mentah, bukannya hasil olahan yang memiliki nilaitambah seperti ekspor hasil industri. Pola ini malah sangat digemari oleh Cina yangmemang sedang “haus” bahan mentah dan sumber energi untuk menggerakkanekonominya.
5. Kelima
Peranan produksi terutama sektor industri manufaktur dan IKM dalam pasar nasional akan terpangkas dan digantikan impor. Dampaknya, ketersediaan lapangankerja semakin menurun. Padahal setiap tahun angkatan kerja baru bertambah lebih dari 2 juta orang, sementara pada periode Agustus 2009 saja jumlah pengangguran terbuka di Indonesia mencapai 8,96 juta orang. Inilah dampak ACFTA terhadap perekonomian di Indonesia yang penulis dapat kemukakan.


BAB III
PENUTUP

A. KESIMPULAN
Penulis dapat mengemukakan dua dampak ACFTA terhadap pengaruh perekonomian di Indonesia. Dari kedua dampak tersebut adalah dampak Positif dan dampak negative. Dalam hal ini saya akan membahas dampak pertama, yaitu dampak positif:
1. Pertama:
ACFTA akan membuat peluang kita untuk menarik investasi. Hasil dariinvestasi tersebut dapat diputar lagi untuk mengekspor barang-barang ke negara yangtidak menjadi peserta ACFTA.
2. Kedua :
dengan adanya ACFTA dapat meningkatkan voume perdagangan. Hal ini dimotivasi dengan adanya persaingan ketat antara produsen. Sehingga produsen maupun para importir dapat meningkatkan volume perdagangan yang tidak terlepas dari kualitas sumber yang diproduksi.
3. Ketiga
ACFTA akan berpengaruh positif pada proyeksi laba BUMN 2010 secara agregat. Namun disamping itu faktor laba bersih, prosentase pay out ratio atas laba juga menentukan besarnya dividen atas laba BUMN. Keoptimisan tersebut, karena denganadanya ACFTA, BUMN akan dapat memanfaatkan barang modal yang lebih murahdan dapat menjual produk ke Cina dengan tarif yang lebih rendah pula (pemaparan MENKEU SriMulyani dalam Rapat Kerja ACFTA dengan Komisi VI DPR di Gedung DPR RI), Rabu (20/1).
Porsi terbesar (91 persen) penerimaan pemerintah atas laba BUMN saat ini berasal dari BUMN sektor pertambangan, jasa keuangan dan perbankan dan telekomunikasi. BUMNtersebut membutuhkan impor barang modal yang cukup signifikan dan dapat menjual sebagian produknya ke pasar Cina.
Inilah beberapa dampak positif yang penulis dapat kemukakan, berikutnya adalah dampak negatife ACFTA terhadap perekinomian di Indonesia:
1. Pertama
Serbuan produk asing terutama dari Cina dapat mengakibatkan kehancuran sektor-sektor ekonomi yang diserbu. Padahal sebelum tahun 2009 saja Indonesia telah mengalami proses deindustrialisasi (penurunan industri). Berdasarkan data Kamar Dagang dan Industri (KADIN) Indonesia, peran industri pengolahan mengalami penurunan dari 28,1% pada 2004 menjadi 27,9% pada 2008. Diproyeksikan 5 tahun kedepan penanaman modal di sektor industri pengolahan mengalami penurunan US$ 5miliar yang sebagian besar dipicu oleh penutupan sentra-sentra usaha strategis IKM(industri kecil menegah). Jumlah IKM yang terdaftar pada Kementrian Perindustriantahun 2008 mencapai 16.806 dengan skala modal Rp 1 miliar hingga Rp 5 miliar. Dari jumlah tersebut, 85% di antaranya akan mengalami kesulitan dalam menghadapi persaingan dengan produk dari Cina.
2. Kedua
Pasar dalam negeri yang diserbu produk asing dengan kualitas dan harga yangsangat bersaing akan mendorong pengusaha dalam negeri berpindah usaha dari produsen di berbagai sektor ekonomi menjadi importir atau pedagang saja. Sebagaicontoh, harga tekstil dan produk tekstik (TPT) Cina lebih murah antara 15% hingga25%. Menurut Wakil Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API), Ade SudrajatUsman, selisih 5% saja sudah membuat industri lokal kelabakan, apalagi perbedaannya besar.
Hal yang sangat memungkinkan bagi pengusahalokal untuk bertahan hidup adalah bersikap pragmatis, yakni dengan banting setir dari produsen tekstil menjadi importir tekstil Cina atau setidaknya pedagang tekstil. Sederhananya, “Buat apa memproduksi tekstil bila kalah bersaing? Lebih baik impor saja, murah dan tidak perlu repot-repot jika diproduksi sendiri.”
Gejala inilah yang mulai tampak sejak awal tahun 2010. Misal, para pedagang jamusangat senang dengan membanjirnya produk jamu Cina secara legal yang harganyamurah dan dianggap lebih manjur dibandingkan dengan jamu lokal. Akibatnya, produsen jamu lokal terancam gulung tikar.
3. Ketiga
Karakter perekomian dalam negeri akan semakin tidak mandiri dan lemah.Segalanya bergantung pada asing. Bahkan produk “tetek bengek” seperti jarum sajaharus diimpor. Jika banyak sektor ekonomi bergantung pada impor, sedangkan sektor-sektor vital ekonomi dalam negeri juga sudah dirambah dan dikuasai asing, makaapalagi yang bisa diharapkan dari kekuatan ekonomi Indonesia?
4. Keempat
Jika di dalam negeri saja kalah bersaing, bagaimana mungkin produk-produk Indonesia memiliki kemampuan hebat bersaing di pasar ASEAN dan Cina? Datamenunjukkan bahwa tren pertumbuhan ekspor non-migas Indonesia ke Cina sejak 2004hingga 2008 hanya 24,95%, sedangkan tren pertumbuhan ekspor Cina ke Indonesiamencapai 35,09%. Kalaupun ekspor Indonesia bisa digenjot, yang sangat mungkin berkembang adalah ekspor bahan mentah, bukannya hasil olahan yang memiliki nilaitambah seperti ekspor hasil industri. Pola ini malah sangat digemari oleh Cina yangmemang sedang “haus” bahan mentah dan sumber energi untuk menggerakkanekonominya.
5. Kelima
Peranan produksi terutama sektor industri manufaktur dan IKM dalam pasar nasional akan terpangkas dan digantikan impor. Dampaknya, ketersediaan lapangankerja semakin menurun. Padahal setiap tahun angkatan kerja baru bertambah lebih dari 2 juta orang, sementara pada periode Agustus 2009 saja jumlah pengangguran terbuka di Indonesia mencapai 8,96 juta orang. Inilah dampak ACFTA terhadap perekonomian di Indonesia yang penulis dapat kemukakan.

B. SARAN DAN KRITIK
Penulis sangat menyadari bahwa banyak kekurangan dari penulisan makalah ini maka dari itu penulis sangat mengharapkan saran dan kritik yang sifatnya membangun agar penulis dapat berkembang ke hal yang lebih baik sehingga mencapai tingkat kesempurnaan yang lebih baik dan matang.
DAFTAR PUSTAKA
AlFoul, Bassam Abu, 2010, The Causal Relation between Savings dan Economic Growth: Some Evidence from MENA Countries., diakses pada 28 November 2011.
Attanasio, Orazio, James Banks, Costas Meghir, Guglielmo Weber, 1999, Humps and Bumps in Lifetime Consumption. Journal of Business & Economic Statistics, Vol. 17, hal. 22-35.
Azzopardi, Franco, 2004, The Propensity to Save and Interest Rates, , diakses pada 28 November 2011.