BAB
I
PENDAHULUAN
A. LATAR
BELAKANG
Masalah perekonomian
merupakan masalah yang tiada batasnya. Indonesia merupakan salah satu dari 3
negara Asia, disamping China dan India yang tetap tumbuh positif saat Negara
lain terpuruk akibat krisis finansial global. Ini merupakan suatu prestasi
danoptimisme bagi masa depan perekonomian Indonesia. Dengan kondisi ini,
pemerintahmengadakan Asean-China Trade Agreement (ACFTA) guna menghadapi
persaingan global. Persiapan Indonesia dalam menghadapi ACFTA merupakan salah
satu bentuk kerja sama liberalisasi ekonomi yang banyak dilakuakn Indonesia
dalam 10 tahun terakhir ini. Awal januari 2010 muai pemberlakuan mengenai Asean
China Free Trade Agreement.
Ini merupakan perang mutu, harga,
kuantitasakan suatu pelayanan barang dan jasa serta industri pasar global
China. Mengapa China?Seperti yang kita ketahui, harga barang produksi China
relatif murah dan diminati konsumenIndonesia. Hal in itidak terlepas dari
kualitas barang yang dihasilkan oleh China. Denganadanya fenomena ini,
Indonesia perlu mempersiapkan tim yang diharapkan mampu memberikontribusi
positif memperkuat daya saing global. Pemerintah bersama Kamar Dagang dan
Industri
Perjanjian ASEAN-Cina
Free Trade Area (ACFTA) menurunkan tarif pajak dari 90% untuk barang impor menjadi
nol. Negara ASEAN, terutama yang sedang berkembang (Singapura dianggap sebagai
negara maju), akan dibanjiri dengan laju barang dibawah ACFTA. Peningkatan
akses terhadap barang murah, dalam konteks pengeluaran, akan sangat
menguntungkan bagi masyarakat miskin. Todaro dan Smith (2008,[59])) membantah
bahwa meningkatnya akses masyarakat miskin pada barang dan jasa merupakan salah
satu bukti berhasilnya usaha pengurangan kemiskinan. Hal ini meningkatkan
pemenuhan kebutuhan primer dan sekunder dari masyarakat miskin. Sehingga dari
sudut pandang pengeluaran, jumlah penduduk miskin akan menurun dikarenakan
meningkatnya kemampuan masyarakat miskin untuk mengakses barang dibawah
perjanjian perdagangan bebas macam ini.
B. RUMUSAN
MASALAH
Berangkat dari judul makalah saya yaitu
pengaruh ACFTA terhadap perekonomian di Indonesia saya dapat menarik sebuah
rumusan masalah, Yaitu:
1. Apakah dampak ACFTA
terhadap perekonomian di Indonesia?
2. Keuntungan apakah
yang diperolah dari kerja sama ini?
BAB
II
PEMBAHASAN
TENTANG
PENGARUH ACFTA TERHADAP PEREKONOMIAN DI INDONESIA
Pengaruh ACFTA
terhadap perekonomian Indonesia Pada sector barang mainan anak-anak. Dengan
adanya perdagangan acfta di Indonesia menyebabkan produksi dalam negari kalah
bersaing dengan produksi luar negeri terutama hasil produksi barang cina yang
saat ini membanjiri pasar local khususnya barang berupa mainan anak – anak.
Perdagangan barang impor sangat merugikan bagi para pengusaha kecil dan menegah
dikarenakan produksi barang local kalah bersaing dengan barang impor,karena
barang impor harga pasarnya lebih murah dibandingkan hasil produksi barang
dalam negeri/barang local Menurut saya barang dalam negeri secara kualitas
tidak terlalu jelek dibandingkan barang impor,malah cenderung barang local
secara kualitas lebih baik di bandingkan barang impor. Barang yang masuk ke
Indonesia umumnya barang impor dari negeri tirai bamboo yaitu cina khususnya
barang berupa mainan anak-anak,barang impor yang masuk ke Indonesia umumnya
barang yang terbuat dari bahan plastic, padahal barang dari jenis pelastik ini
banyak mengandung bahan kimia, jika seorang anak menggigit barang tersebut maka
anak tersebut akan terkena penyekit. Dibandingkan dengan barang local secara
keseluruhan akan lebih baik dikarenakan barang local bahan bakunya terbuat dari
kayu, sebagai contoh mainan mobil-mobilan/truk. Barang tersebut dapat tahan
lama dikarenakan bahan baku yang digunakan cukup bagus.
Penulis dapat
mengemukakan dua dampak ACFTA terhadap pengaruh perekonomian di Indonesia. Dari
kedua dampak tersebut adalah dampak Positif dan dampak negative. Dalam hal ini
saya akan membahas dampak pertama, yaitu dampak positif:
1. Pertama:
ACFTA akan membuat
peluang kita untuk menarik investasi. Hasil dariinvestasi tersebut dapat
diputar lagi untuk mengekspor barang-barang ke negara yangtidak menjadi peserta
ACFTA.
2. Kedua :
dengan adanya ACFTA
dapat meningkatkan voume perdagangan. Hal ini dimotivasi dengan adanya
persaingan ketat antara produsen. Sehingga produsen maupun para importir dapat
meningkatkan volume perdagangan yang tidak terlepas dari kualitas sumber yang
diproduksi.
3. Ketiga
ACFTA akan
berpengaruh positif pada proyeksi laba BUMN 2010 secara agregat. Namun
disamping itu faktor laba bersih, prosentase pay out ratio atas laba juga
menentukan besarnya dividen atas laba BUMN. Keoptimisan tersebut, karena
denganadanya ACFTA, BUMN akan dapat memanfaatkan barang modal yang lebih
murahdan dapat menjual produk ke Cina dengan tarif yang lebih rendah pula
(pemaparan MENKEU SriMulyani dalam Rapat Kerja ACFTA dengan Komisi VI DPR di
Gedung DPR RI), Rabu (20/1).
Porsi terbesar (91
persen) penerimaan pemerintah atas laba BUMN saat ini berasal dari BUMN sektor
pertambangan, jasa keuangan dan perbankan dan telekomunikasi. BUMNtersebut
membutuhkan impor barang modal yang cukup signifikan dan dapat menjual sebagian
produknya ke pasar Cina.
Inilah beberapa
dampak positif yang penulis dapat kemukakan, berikutnya adalah dampak negatife
ACFTA terhadap perekinomian di Indonesia:
1. Pertama
Serbuan produk asing
terutama dari Cina dapat mengakibatkan kehancuran sektor-sektor ekonomi yang
diserbu. Padahal sebelum tahun 2009 saja Indonesia telah mengalami proses
deindustrialisasi (penurunan industri). Berdasarkan data Kamar Dagang dan
Industri (KADIN) Indonesia, peran industri pengolahan mengalami penurunan dari
28,1% pada 2004 menjadi 27,9% pada 2008. Diproyeksikan 5 tahun kedepan
penanaman modal di sektor industri pengolahan mengalami penurunan US$ 5miliar
yang sebagian besar dipicu oleh penutupan sentra-sentra usaha strategis
IKM(industri kecil menegah). Jumlah IKM yang terdaftar pada Kementrian
Perindustriantahun 2008 mencapai 16.806 dengan skala modal Rp 1 miliar hingga
Rp 5 miliar. Dari jumlah tersebut, 85% di antaranya akan mengalami kesulitan
dalam menghadapi persaingan dengan produk dari Cina.
2. Kedua
Pasar dalam negeri
yang diserbu produk asing dengan kualitas dan harga yangsangat bersaing akan
mendorong pengusaha dalam negeri berpindah usaha dari produsen di berbagai
sektor ekonomi menjadi importir atau pedagang saja. Sebagaicontoh, harga
tekstil dan produk tekstik (TPT) Cina lebih murah antara 15% hingga25%. Menurut
Wakil Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API), Ade SudrajatUsman,
selisih 5% saja sudah membuat industri lokal kelabakan, apalagi perbedaannya
besar.
Hal yang sangat
memungkinkan bagi pengusahalokal untuk bertahan hidup adalah bersikap
pragmatis, yakni dengan banting setir dari produsen tekstil menjadi importir
tekstil Cina atau setidaknya pedagang tekstil. Sederhananya, “Buat apa
memproduksi tekstil bila kalah bersaing? Lebih baik impor saja, murah dan tidak
perlu repot-repot jika diproduksi sendiri.”
Gejala inilah yang
mulai tampak sejak awal tahun 2010. Misal, para pedagang jamusangat senang
dengan membanjirnya produk jamu Cina secara legal yang harganyamurah dan
dianggap lebih manjur dibandingkan dengan jamu lokal. Akibatnya, produsen jamu
lokal terancam gulung tikar.
3. Ketiga
Karakter perekomian
dalam negeri akan semakin tidak mandiri dan lemah.Segalanya bergantung pada
asing. Bahkan produk “tetek bengek” seperti jarum sajaharus diimpor. Jika
banyak sektor ekonomi bergantung pada impor, sedangkan sektor-sektor vital
ekonomi dalam negeri juga sudah dirambah dan dikuasai asing, makaapalagi yang
bisa diharapkan dari kekuatan ekonomi Indonesia?
4. Keempat
Jika di dalam negeri
saja kalah bersaing, bagaimana mungkin produk-produk Indonesia memiliki
kemampuan hebat bersaing di pasar ASEAN dan Cina? Datamenunjukkan bahwa tren
pertumbuhan ekspor non-migas Indonesia ke Cina sejak 2004hingga 2008 hanya
24,95%, sedangkan tren pertumbuhan ekspor Cina ke Indonesiamencapai 35,09%.
Kalaupun ekspor Indonesia bisa digenjot, yang sangat mungkin berkembang adalah
ekspor bahan mentah, bukannya hasil olahan yang memiliki nilaitambah seperti
ekspor hasil industri. Pola ini malah sangat digemari oleh Cina yangmemang
sedang “haus” bahan mentah dan sumber energi untuk menggerakkanekonominya.
5. Kelima
Peranan produksi
terutama sektor industri manufaktur dan IKM dalam pasar nasional akan terpangkas
dan digantikan impor. Dampaknya, ketersediaan lapangankerja semakin menurun.
Padahal setiap tahun angkatan kerja baru bertambah lebih dari 2 juta orang,
sementara pada periode Agustus 2009 saja jumlah pengangguran terbuka di
Indonesia mencapai 8,96 juta orang. Inilah dampak ACFTA terhadap perekonomian
di Indonesia yang penulis dapat kemukakan.
BAB
III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Penulis dapat
mengemukakan dua dampak ACFTA terhadap pengaruh perekonomian di Indonesia. Dari
kedua dampak tersebut adalah dampak Positif dan dampak negative. Dalam hal ini
saya akan membahas dampak pertama, yaitu dampak positif:
1. Pertama:
ACFTA akan membuat
peluang kita untuk menarik investasi. Hasil dariinvestasi tersebut dapat diputar
lagi untuk mengekspor barang-barang ke negara yangtidak menjadi peserta ACFTA.
2. Kedua :
dengan adanya ACFTA
dapat meningkatkan voume perdagangan. Hal ini dimotivasi dengan adanya
persaingan ketat antara produsen. Sehingga produsen maupun para importir dapat
meningkatkan volume perdagangan yang tidak terlepas dari kualitas sumber yang
diproduksi.
3. Ketiga
ACFTA akan
berpengaruh positif pada proyeksi laba BUMN 2010 secara agregat. Namun
disamping itu faktor laba bersih, prosentase pay out ratio atas laba juga
menentukan besarnya dividen atas laba BUMN. Keoptimisan tersebut, karena
denganadanya ACFTA, BUMN akan dapat memanfaatkan barang modal yang lebih
murahdan dapat menjual produk ke Cina dengan tarif yang lebih rendah pula
(pemaparan MENKEU SriMulyani dalam Rapat Kerja ACFTA dengan Komisi VI DPR di
Gedung DPR RI), Rabu (20/1).
Porsi terbesar (91
persen) penerimaan pemerintah atas laba BUMN saat ini berasal dari BUMN sektor
pertambangan, jasa keuangan dan perbankan dan telekomunikasi. BUMNtersebut membutuhkan
impor barang modal yang cukup signifikan dan dapat menjual sebagian produknya
ke pasar Cina.
Inilah beberapa
dampak positif yang penulis dapat kemukakan, berikutnya adalah dampak negatife
ACFTA terhadap perekinomian di Indonesia:
1. Pertama
Serbuan produk asing
terutama dari Cina dapat mengakibatkan kehancuran sektor-sektor ekonomi yang
diserbu. Padahal sebelum tahun 2009 saja Indonesia telah mengalami proses
deindustrialisasi (penurunan industri). Berdasarkan data Kamar Dagang dan
Industri (KADIN) Indonesia, peran industri pengolahan mengalami penurunan dari
28,1% pada 2004 menjadi 27,9% pada 2008. Diproyeksikan 5 tahun kedepan
penanaman modal di sektor industri pengolahan mengalami penurunan US$ 5miliar
yang sebagian besar dipicu oleh penutupan sentra-sentra usaha strategis
IKM(industri kecil menegah). Jumlah IKM yang terdaftar pada Kementrian
Perindustriantahun 2008 mencapai 16.806 dengan skala modal Rp 1 miliar hingga
Rp 5 miliar. Dari jumlah tersebut, 85% di antaranya akan mengalami kesulitan dalam
menghadapi persaingan dengan produk dari Cina.
2. Kedua
Pasar dalam negeri
yang diserbu produk asing dengan kualitas dan harga yangsangat bersaing akan
mendorong pengusaha dalam negeri berpindah usaha dari produsen di berbagai
sektor ekonomi menjadi importir atau pedagang saja. Sebagaicontoh, harga
tekstil dan produk tekstik (TPT) Cina lebih murah antara 15% hingga25%. Menurut
Wakil Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API), Ade SudrajatUsman,
selisih 5% saja sudah membuat industri lokal kelabakan, apalagi perbedaannya
besar.
Hal yang sangat
memungkinkan bagi pengusahalokal untuk bertahan hidup adalah bersikap
pragmatis, yakni dengan banting setir dari produsen tekstil menjadi importir
tekstil Cina atau setidaknya pedagang tekstil. Sederhananya, “Buat apa
memproduksi tekstil bila kalah bersaing? Lebih baik impor saja, murah dan tidak
perlu repot-repot jika diproduksi sendiri.”
Gejala inilah yang
mulai tampak sejak awal tahun 2010. Misal, para pedagang jamusangat senang
dengan membanjirnya produk jamu Cina secara legal yang harganyamurah dan
dianggap lebih manjur dibandingkan dengan jamu lokal. Akibatnya, produsen jamu
lokal terancam gulung tikar.
3. Ketiga
Karakter perekomian
dalam negeri akan semakin tidak mandiri dan lemah.Segalanya bergantung pada
asing. Bahkan produk “tetek bengek” seperti jarum sajaharus diimpor. Jika
banyak sektor ekonomi bergantung pada impor, sedangkan sektor-sektor vital
ekonomi dalam negeri juga sudah dirambah dan dikuasai asing, makaapalagi yang
bisa diharapkan dari kekuatan ekonomi Indonesia?
4. Keempat
Jika di dalam negeri
saja kalah bersaing, bagaimana mungkin produk-produk Indonesia memiliki
kemampuan hebat bersaing di pasar ASEAN dan Cina? Datamenunjukkan bahwa tren
pertumbuhan ekspor non-migas Indonesia ke Cina sejak 2004hingga 2008 hanya
24,95%, sedangkan tren pertumbuhan ekspor Cina ke Indonesiamencapai 35,09%.
Kalaupun ekspor Indonesia bisa digenjot, yang sangat mungkin berkembang adalah
ekspor bahan mentah, bukannya hasil olahan yang memiliki nilaitambah seperti
ekspor hasil industri. Pola ini malah sangat digemari oleh Cina yangmemang
sedang “haus” bahan mentah dan sumber energi untuk menggerakkanekonominya.
5. Kelima
Peranan produksi
terutama sektor industri manufaktur dan IKM dalam pasar nasional akan terpangkas
dan digantikan impor. Dampaknya, ketersediaan lapangankerja semakin menurun.
Padahal setiap tahun angkatan kerja baru bertambah lebih dari 2 juta orang,
sementara pada periode Agustus 2009 saja jumlah pengangguran terbuka di
Indonesia mencapai 8,96 juta orang. Inilah dampak ACFTA terhadap perekonomian
di Indonesia yang penulis dapat kemukakan.
B. SARAN
DAN KRITIK
Penulis sangat menyadari bahwa
banyak kekurangan dari penulisan makalah ini maka dari itu penulis sangat
mengharapkan saran dan kritik yang sifatnya membangun agar penulis dapat
berkembang ke hal yang lebih baik sehingga mencapai tingkat kesempurnaan yang
lebih baik dan matang.
DAFTAR PUSTAKA
AlFoul,
Bassam Abu, 2010, The Causal Relation between Savings dan Economic Growth:
Some Evidence from MENA Countries., diakses pada 28 November 2011.
Attanasio,
Orazio, James Banks, Costas Meghir, Guglielmo Weber, 1999, Humps and Bumps
in Lifetime Consumption. Journal of Business & Economic Statistics,
Vol. 17, hal. 22-35.
Azzopardi,
Franco, 2004, The Propensity to Save and Interest Rates, , diakses pada
28 November 2011.